KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kami lantungkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
bantuan-Nya sehingga kami dapat menyalesaikan karya makalh sedarhana ini. Dalam
karya sederhana ini kami menyajikan berita mengenai Jong Dobo, yaitu sebuah kapal
perunggu yang telah ada sejak abad ke 3 M, asal mula Jong Dobo, arti Jong Dobo,
peraturan ketika memasuki kawasan Jong Dobo, penelitian dari para ahli, dan
berita-berita seputar Jong Dobo.
Kami
juga turut menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak sekolah yang telah
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengisi Hari Pendidikan Nasional
ini dengan melakukan Study Tour.
Kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada para siswa seminari yang
telah berpartisipasi dalam melajukan kegiatan Study Tour ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada semua pihak yang dengan caranya sendiri mensukseskan kegiatan Study Tour ini.
Dalam
karya tulis ini, kami menyadari bahwa karya tulis ini belum sempurna. Menyadari
itu kami mengharapkan masukan dari para pembaca berupa kritikan,usul atau
saran. Semoga karya tulis ini berguna bagi kita semua.
Maumere,
Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………
DAFTAR ISI
…………………………………………..
BAB 1
PENDAHULUAN
………………………………………….
1.1
Latar belakang
……………………………………………..
1.2
Tujuan
………………………………………………
BAB
II ISI
………………………………….
2.1
Asal usul Jong Dobo ……………………………
2.2
Arti jong Dobo
……………………………….
2.3
Peraturan Memasuki Kawasan Jong Dobo………
2.4
Legenda dan penelitian ………………………..
BAB
III PENUTUP ……………………………
3.1
Kesimpulan
………………………
3.2
Saran
……………………..
Daftar
pustaka
………………………
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dikampung Dobo tersimpan sebuah
artefak, yang di beri nama sama dengan kampung itu yaitu, Jong Dobo.jong adalah
kata bahasa sikka untuk perahu atau kapal.Diketahui Jong
adalah juga nama Jawa atau Melayu untuk kapal kapal besar yang terbuat dari
kayu yang mempunyai daya angkut mencapi 500 ton yang melayani perdagangan
khususnya diutara Jawa menjelang abad ke 15 dan ke 16.Kata dobo berasal dari
bahasa Sikka.Kapal ini mempunyai ukuran panjang 60 cm, tinggi 12 cm dan lebar
bagian tengah 8 cm. detil-detilnya yang lain adalah awak kapal dalam bentuk patung
sebanyak 22 orang. 6 orang awak pendayung ada pada masing-masing sisi kapal, 4
orang penari ada diatas geladak kapal diantaranya seorang penari perempuan yang
duduk, 4 orang lainnya adalah tentara yang menjaga perahu tersebut
bersenjatakan Busur, Anak Panah, Bertopi Jambul Ayam Jago.
1.2
Tujuan
Makalah ini
dibuat dengan tujuan :
Ø Sebagai bukti dari
kegiatan Study Tour, 2 mei 2013
Memperkenalkan kepada pembaca mengenai Jong
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Mula Jong Dobo
Dusun Dobo atau lebih dikenal dengan
sebutan Perkampungan Dobo, merupakan 1 dari 3 dusun yang berada dalam wilayah
Desa Iyantena, Kecamatan Kangae Kabupaten Sikka Flores Nusa Tenggara Timur.
Perkampungan Dobo berada diketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Ada 37
kepala keluarga (kk) yang menetap-tinggal dan bermata pencaharian sebagai
petani. Di perkampungan ini terdapat 7 suku atau dalam bahasa setempat
disebut”Lepo Pitu”. Diantaranya, Lepo Tana Pu’ang, Lepo Mangun Lajar, Lepo
Sadopun, Lepo Hoban, Lepo Goban, Lepo Tadak, dan Lepo Tana Wura. Keseluruhan
Lepo yang berada di Perkampungan Dobo dipimpin seorang Kepala Kampung, yaitu
Lepo Tana Pu’ang (Tuan Tanah-Red).
Adanya Lepo-Lepo tersebut tampak jelas di
Perkampungan Dobo, karena ada 7 lokasi terdapat onggokan batu yang tersusun
rapi yang disebut ”Watu Mahe”. Sedangkan persis berada ditengah kampung adalah
Watu Mahe milik Lepo Tana Pu’ang. Di Watu Mahe, oleh masyarakat setempat sering
diadakan upacara-upacara, seperti memberi sesajian pada arwah nenek moyang,
upacara persiapan tanam dan panen, serta upacara adat lainnya. Dan tentunya,
minuman tradisional Moke atau dalam bahasa Sikka disebut ”Tua” yang
melegitimasi keabsahan semua upacara yang dilakukan masyarakat Perkampungan
Dobo.
Jalan
menuju lokasi lumayan bagus. Sayangnya, lebar jalan beraspal itu hanya sekitar
2,5 meter, sehingga terlihat begitu sempit. Tampak di samping kiri dan kanan
jalan berbaris rapi tanaman komoditi perdagangan jambu mete dan tanaman kemiri
yang berdiri menjulang tinggi. Sebelum sampai di Perkampungan Dobo, beberapa
perkampungan mesti dilewati, yakni Kampung Habilopong, Apinggoot dan
Wolomotong. Setengah jam (30 menit) kemudian, kami tiba di Gapura (Pintu masuk)
lokasi Jong Dobo. ”Uhet Dien Dat Hading”, demikian tulisan dalam Bahasa Sikka
yang artinya, ”Selamat Datang, Pintu Terbuka”.
Ternyata benar. Gerbang Jong Dobo yang
berada di atas lahan luas 2,5 hektar dan dipagari dengan kawat berduri itu
dalam keadaan terkunci. Perjalanan kami lanjutkan sekitar 100 meter dari
gerbang menuju Perkampungan Dobo, lokasi kediaman sang pewaris dan pemegang
kunci gerbang Jong Dobo. Kami dipandu Ito (9), warga Dobo, menuju rumah Sergius
Moa. ”
”Tidak ada larangan khusus bagi setiap
pengunjung yang ingin melihat Jong Dobo. Tapi, perlu diingat, di areal hutan
tempat Jong Dobo berada punya larangan khusus, ada sebuah batu besar di pintu
masuk tidak boleh diduduki oleh siapapun. Dan semua pohon atau tanaman yang ada
di lokasi jangan dirusak, karena akan terjadi malapetaka besar. Satu lagi,
tidak boleh bawah makanan,” jelas Sergius Moa, sambil membuka dokumen-dokumen,
yang berkisahkan tentang Jong Dobo.
Memang tidak ada larangan apapun, tapi dia
selalu mengingatkan setiap pengunjung. Sergius Moa menuturkan, pada tahun 1943,
pernah terjadi bencana besar di Perkampungan Dobo dan sekitarnya, karena Jong
Dobo dibawah keluar dari tempatnya oleh 2 orang guru yang berasal dari Bei,
Kecamatan Kangae. Kedua guru ini hendak menunjukkan Jong Dobo kepada anak
muridnya, tapi yang terjadi, selama 3 hari hujan dan angin di wilayah
Perkampungan Dobo dan Bei. Jong Dobo kemudian dikembalikan pada tempatnya. Hal
yang sama terjadi lagi ketika, Jong Dobo dipindahkan ke Museum Blikon Blewut
Ledalero.
Terakhir, lanjutnya, pada tahun 2009, seorang
peneliti asal Jerman bernama Mr. Janina Findeisen ditemani Mr. Pose Jurgen dari
Jakarta, datang dan meminta agar sebagian dari Jong Dobo diberikan kepadanya
dan dibawah ke Jerman demi kepentingan penelitiannya. ”Tapi saya tidak berikan.
Yang terjadi, ketika mereka mengambil gambar foto melalui kamera dan video
digital, semua gambar tidak terekam. Akhirnya, 4 bulan kemudian, Mr. Pose
Jurgen kembali lagi dan mengambil ulang gambar Jong Dobo,” kata pria berjanggut
lebat ini.
Jika ingin melihat Jong Dobo, jelas
Sergius Moa, mesti dilakukan ritual khusus dengan memberi sesajen kepada arwah
nenek moyang. Sesajen yang mesti dibawah antara lain, beras, ekor ikan asin,
sirih pinang dan rokok tembakau. ”Tapi ini tidak dipaksakan, kalau ada
pengunjung tidak tahu, saya yang sediakan. Ritual ini mesti dilakukan agar kita
dapat melihat dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata pria, yang
mendapat honor Rp. 300.000 per bulan dari Disparsenbud Sikka atas tugasnya
menjaga Jong Dobo.
2.2
Arti Jong Dobo
Jong Dobo adalah
artefak berbentuk perahu mini dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 12 cm, dan
tinggi 25 cm. Perahu ini terbuat dari tembaga dengan awak 22 orang, terdiri
dari 1 nahkoda, 3 juru mudi, 12 pendayung, 6 penumpang. Dalam perahu tersebut
ada ayam 1 ekor dan 1 buah gong.
Jong Dobo dalam Bahasa Sikka terdiri
dari dua suku kata. ”Jong” berarti perahu/kapal, sedangkan ”Dobo” adalah nama
perkampungan, tempat disimpannya perahu tersebut. Jika diterjemahkan secara
bebas, artinya ”Perahu di Bukit Dobo”. Arti jong Dobo juga menyata dalam syair
adatyang di kenal dalam bahasa sikka dengan sebutan kleteng latar yaitu proses liris parallel yang bermuatan
syair-syair yang merupakan legenda daripada mitos.Syair-syairnya sebagi
berikut:
Syair Adat 1:
Soge
ata numba,sage jong kelang reta;
Jong
gelang reta,beli uran nora dara poto watu ia Dobo
Poa inga ia Dobo;inga ia Dobo,jong baler dadi gelang.
Yang artinya: Orang soge dari Numba
yang mengkeramatkan jong gelang itu; jong gelang itu menurunkan hujan dan
panas. (Takala) Mengangkat jangkar di Dobo, mereka kesiangan di
Syair Adat 2:
Au moan woga pigang,
ngen tota ora nian.Bar tota ora tana
tuku wawa wawa mai, wawa sina siam malaka; maing saing sapeng genang wawa Biung
Du’a Bima.Wawa Biung Du’a Bima,Bima bitak mole Du’a Roja.Wawa buang wawa Bajo,
Buang bajo wawa Juang .Mapa wawa main, saing soge tana pu’an;Wuat ene nodin
hoit, bako ene bajak papak.Tuku a saing Sada Watu Manuk Nian Sikka Wani aga ,
nian Nita karang Jawa; Nian ene detun epan ,tana ene desa wohon.Tuke lekuk le
an ,saing koli tatit Moro Human; Soda Otang Bolawolon,sutn satat Waipare.Watu
milok meluk meten long leu Lodong leu watu tara Du guman ha oran poa dadi gurun
an tali an. Ha’e reta wawo e ili koli kokowahor’NIang aping Go’ot Tana Getan,tana
detun desa wohon. Ama moan Kedong Leder, wat ene nodding hoit bako ene bajak
papak. Ledu segung ripa a,’lewe jok koro ngo’ong, Wolon gelo betan dadin. Tuku
ripa a, Saing Dobo Nata Ulu; Tana detune pan,tanah desa wohon.
Yang artinya : Akulah moan woga pigan,
berkelana mencari tanah, berkeliling menemukan bumi mendayung sampan nun jauh
dari seberang dari Sian Sinam Malaka; menyinggahi dalam perjalananNegri Biung
Du’a Bima.Di negri Biung Du’a Bima Bima male Roja gunugnnya meletus,nunJauh di
Buana Bajo adalah Buana Bajo Juang .( Kami) Berangkat dari sana menyinggahi
soge tuan tanah tetapi tidak disuguhi sirih pinang tidak di sajikan gulungan
tembakau. Lalu mendayung menuju sada watu manuk di negri sikka pemberani
kenegri nita karang jawa,(tetapi) tanahnya kurang datar lahannya kurang subur.
Kembali(Kami) mendayung ke sana sampailah Kami di koli tatit morohuman, soda
otang bolawolon,(Lalu)tertatih-tatih ke Waipare.Diwatumilok yangh teliknya
indah, Kami labuhkan batu jangkar, labuhkan batu jangkar semalaman hampir
siang,(maka) jadilah (Aku) benang menyerupai tali. Kami mendaki ketinggian, ke
Ili koli kokowahor, diaping go’ot tanah getan tanahnya datar, kampungnya
makmur.Bapa moanng Kedong Leder, tidak menyuguhkan sirih pinang, tidak
menyajihkan gulungang tembakau. Berkelana kembali dari sana,(Kami) berhadapan
dan bertarbakan,Wolon Gelo karangnya terbelah.Mendayunglah kami ke
ketinggian,sampailah ke Dobo dora nata ulu, tanahnya datar kampungnya makmur.
2.3 Peraturan Memasuki Kawasan Jong
Dobo
Kini, perahu ini diawasi oleh seorang Tana
Pu’ang (Tuan Tanah, Red), yakni Sergius Moa. Artefak Jong Dobo diakui
masyarakat setempat sebagai benda kramat dan sakti. Benda ini diyakini bisa
mendatangkan panas, menurunkan hujan, meniup topan dan badai, bahkan bisa
mendatangkan malapetaka.
Sebelum memasuki kawasan Jong Dobo moang
tanah pu’ang akan melakukan upacara adat untuk nenek moyang leluhur mereka.Dan
upacara itu moan tana pu’ang memberikan sesuguh atau yang dikenal dalam bahasa
sikka “bako wua ta’a”dan sapaan adat dalam bahasa sikka.Dan di sini juga kita
di larang membawa ayam dan makanan-makanan yang berupa daging dsb.
2.4
Legenda
dan Penelitian
Sergius Moa menceritakan. ”Menurut cerita
yang diturunkan dari para leluhur dan menjadi legenda masyarakat, Jong Dobo
datang dari India Belakang (Dongson) berlayar dari India untuk mencari tempat
yang subur dan menetap. Sebelum melakukan perjalanan, semua mereka yang hendak
berlayar tersebut membuat sumpah serapa/janji. Sumpah tersebut adalah tidak
boleh melanggar hukum adat, alam dan hukum Tuhan. Apabila melanggar sumpah
serapa tersebut, maka mereka akan dikutuk menjadi kecil. Mereka melanggar
sehingga dikutuk menjadi kecil,” cerita Sergius.
Sergius Moa mengatakan, perjalanan mereka
dimulai dari India, Thailand, Selat Malaka terus ke Indonesia melalui Sumatera,
Jawa, Irian (Aru/Dabu), Bima, Labuan Bajo (Pulau Flores). Dari situ mereka
berlayar melalui pesisir pantai utara Pulau Flores, di Bajawa (Kabupaten Ngada)
mereka mampir di Koli Dobo dan meneruskan hingga perjalanan ke Ende. Dari Ende,
mereka meneruskan perjalanan menuju Maumere (Kabupaten Sikka) dan berlabu di
Waipare, Kecamatan Kangae.
Di Waipare, lanjutnya, jangkar kapal
terputus dan tertinggal, sehingga perjalanan dilanjutkan pada keesokan harinya.
Bekas jangkar Jong Dobo masih ada di pesisir Pantai Waipare. Keesokan harinya,
mereka melanjutkan perjalanan menuju Ihigete Gera, Getung Deu dan diterima oleh
seorang bapak (tidak diketahui namanya), penderita penyakit kudis. Usai dari
tempat itu, mereka menarik kapal, karena kapal tersebut terkandas di salah satu
bukit sehingga bukit tersebut terbagi menjadi dua bagian. Oleh masyarakat
setempat, bukit itu dinamakan Wolon Gele dan bekas tarikan perahu tersebut
dimanfaatkan masyarakat menjadi jalan kampung. ”Karena mereka tidak diterima
dengan baik, maka mereka melanjutkan perjalanan dan menetap di Bukit Dobo.
Disini mereka diterima oleh Moat Wogo Pigang dan mereka tinggal hingga saat
ini,” lanjut Sergius Moa.
Secara ilmiah, jelas Sergius Moa, artefak
Jong Dobo pernah diteliti oleh ahli sejarah, seperti Dr. Th. Hoeven dan Prof.
Hugh O’neil. Kedua ilmuwan ini mempunyai pendapat berbeda sesuai hasil
penelitiannya. Menurut Ahli Bahasa Yunani dan Latin Dr. Th. Hoeven, artefak
Jong Dobo berasal dari kebudayaan Dongson, India Belakang atau Tiongkok,
sekarang Vietnam pada abad 13 SM.
Sementara Prof. Hugh O’neil, Ahli Bangun
Purba dan Modern dari Melbourne University, Australia, berpendapat, jika
dilihat dari struktur dan bentuknya artefak Jong Dobo berasal dari kebudayaan
Sumeria pada abad 3 SM. Artefak ini dibawah dari Laut Tengah India dalam
petualangan migrasi Suku India ke Indonesia. Perjalanan ini menghantarkan
mereka sampai di Bukit Dobo dan meletakkan benda tersebut.
Perbedaan pendapat kedua ahli dan cerita
legenda masyarakat Dobo tersebut menunjukkan, hingga saat ini artefak Jong Dobo
masih misterius. Sulit untuk memastikan dari mana asalnya, siapa yang membawa
dan mengapa berada di bukit Dobo.
Lebih lanjut Sergius Moa, menjelaskan,
menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 oleh Pater Eman Embu, SVD.,
dirinya merupakan pewaris ke tujuh yang menjadi pemegang kunci dan pemilik
artefak Jong Dobo. Dia mengatakan, orang pertama yang menerima artefak Jong
Dobo adalah Moat Wogo Pigang. Selanjutnya hak kepemilikan secara berurutan
diwariskan kepada Moat Bela (Pewaris 2), Moat Sia (Pewaris 3), Moat Nong
(Pewaris 4), Moat Potu Mumeng (Pewaris 5), Moat Domi Hende (Pewaris 6), dan Moat
Sergius Moa (Tahun 2001 hingga kini). “Menurut penelitian yang dilakukan Pater
Eman Embu, SVD., Saya adalah orang ke 7 yang menjadi ahli waris/penerus
kepemilikan artefak Jong Dobo,” ungkap Sergius Moa, mengutip hasil penelitian
itu.
Bab 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan.
Bahwa kapal jong dobo ini mempunyai kekuatan yang fanatik ia bisa
memberikan hujan ,panas dan lin sebagainya.Kapal jong dobo ini juga bisa
memberikan hasil panen kepada masyarakat disana . Orang –orang di kampung Dobo
mengatakan bahwa sebelum mereka memanen
kapal ini biasanya keluar berjalan keliling kampung dan membunyikan
lonceng berarti tanda bahwa masyarakat di kampung Dobo akan memenuhi hasil
panen yang berlimpah ruah.
3.2
Kesimpulan.
Sayangnya, sarana
pendukung di lokasi artefak Jong Dobo masih sangat terbatas, bahkan nyaris
tidak ada sama sekali. Tidak adanya fasilitas pendukung. Tidak ada pondok –
pondok peristirahatan (homestay) atau penginapan yang bisa membuat pengunjung
menjadi lebih aman dan nyaman. Padahal, artefak Jong Dobo merupakan salah satu
destinasi wisata Kabupaten Sikka.
Sergius Moa,
selaku pemilik artefak Jong Dobo, mengharapkan agar pemerintah dalam hal ini
Disparsenbud Kabupaten Sikka menata areal tersimpannya artefak Jong Dobo dengan
baik. Seperti membangun pondok-pondok peristirahatan, MCK, dan fasilitas
lainnya yang bisa membuat kunjungan para pengunjung lebih terkesan dan
bermakna. ”Harapan saya, Dinas Pariwisata bisa menata tempat ini menjadi lebih
baik, agar pengunjung bisa lebih nyaman menikmati keunikan dari artefak Jong
Dobo,” pintanya.
”Sebelum melakukan
perjalanan, mereka yang hendak berlayar membuat sumpah serapa. Mereka tidak
boleh melanggar hukum adat, alam dan hukum Tuhan. Apabila melanggar, maka
mereka dikutuk menjadi kecil”.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber dari Oscar p. mandalangi,
candraditya Research centre,2006.
Laporan Penilik Kebudayaan Kecamatan
Kewapante,Petrus Pice,1985
Sumber dari wawancar SergiusMoa(tana
pu’an,42 tahun)Avelinus Eting(71tahun),Kampung Dobo 20 November 2006.
OLEH : ANTONIUS YULIFAN
SMAS BUNDA SEGALA BANGSA MAUMERE
2013